Kintamani, Bali – Di tengah tantangan perubahan iklim dan kerusakan lahan, para petani kopi lokal di Indonesia mulai bertransformasi dengan pendekatan pertanian yang lebih ramah lingkungan. Komunitas petani di berbagai daerah seperti Kintamani (Bali), Gayo (Aceh), dan Toraja (Sulawesi Selatan) kini mengadopsi sistem agroforestry, pupuk organik, dan konsep zero waste demi menjaga kualitas kopi sekaligus keberlanjutan ekosistem.
Sistem agroforestry, di mana tanaman kopi ditanam berdampingan dengan pohon pelindung seperti alpukat, pisang, atau lamtoro, kini menjadi praktik umum di Gayo dan Kintamani. Metode ini menjaga kelembapan tanah, meningkatkan keanekaragaman hayati, dan mengurangi erosi. "Kami tidak hanya menanam kopi, tapi juga menumbuhkan hutan kecil," ujar Ketut Merta, petani kopi generasi kedua dari Desa Belantih, Kintamani.
Inovasi ini tak lepas dari dukungan berbagai lembaga, salah satunya Kopi Kita Indonesia, sebuah startup agritech yang memfasilitasi pelatihan dan pendampingan petani untuk menerapkan pertanian berkelanjutan. Mereka juga membantu petani mendapatkan sertifikasi organik dan membuka akses ke pasar ekspor yang menghargai kopi dengan jejak ramah lingkungan.
Dari sisi limbah, banyak kelompok tani mulai menerapkan prinsip zero waste—kulit kopi (cascara) dijadikan pupuk cair atau bahan kompos, sementara air sisa pencucian kopi disaring dan digunakan ulang. Pendekatan ini tak hanya menekan biaya produksi, tapi juga memberi nilai tambah ekologis. “Kami belajar bahwa menjaga lingkungan sama pentingnya dengan menjaga kualitas rasa,” kata Muhammad Daud, petani kopi dari Takengon, Aceh Tengah.
Hasilnya tak hanya dirasakan oleh lingkungan, tapi juga oleh dompet petani. Kopi yang diproduksi dengan prinsip keberlanjutan cenderung mendapatkan harga lebih tinggi di pasar specialty coffee, baik domestik maupun ekspor. Dengan inovasi yang terus tumbuh, para petani kopi lokal membuktikan bahwa pertanian yang bijak adalah investasi jangka panjang—bagi bumi dan generasi mendatang.